
Pagi itu selepas Subuh saya dan sahabat saya Jaka setelah menata logistik dan memasukan kedalam carrier kami bersiap berangat dan berpamitan kepada Mak mi (Suyatmi) panggilan akrab saya ke ibu Jaka Sebelum berangkat mak Mi memberi doa tulus: semoga berangkat selamat, pulang selamat. Andai beliau tahu bahwa di jalur pendakian nanti kami akan menemui manusia-manusia yang percaya bahwa “air itu berat, mending bawa kopi sachet,” mungkin doanya akan ditambah: “dan semoga tidak bertemu orang tolol.”
Kami mulai meninggalkan rumah (Tj awar awar Jenu Tuban) menggunakan Beat CBS keluaran 2018 yang kilometernya sudah tinggi dan kampas rem yang kemarin baru diganti karna sudah tidak pakem lagi (akibat sering dibuat pp luar kota). Rencananya kami akan mendaki salah satu gunung tertinggi di pulau Jawa yaitu Gunug Slamet yang berada di antara lima Kabupaten di Jawa Tengah diantaranya Pemalang, Banyumas, Brebes, Tegal, dan Purbalingga.
Dengan menggendong tas carrier di pundak dan mengendarai motor secara bergantian kami menggerus jalan deandles atau yang lebih sering disebut jalan pantura (pantai utara) melewati jeglongan sewu dan banjir rob di Demak yang tidak pernah teratasi. Jaka pun mengumpat dengan nada sedikit emosi “jangkrik dalan celeh iki, mulih mulih karat kabeh iki pedahku” (hehe mohon maaf masyarakat Demak memang demikian realita dilapangan). Singkat cerita kami tiba di basecamp Dipajaya dan ke esokan paginya memulai pendakian. Pada pengalaman pendakian saya kali ini pada saat di trek menuju area camp saya berpapasan dengan sekelompok pendaki tektok yang kehabisan minum dan menanyakan kepada kami “Mas, ada air lebih?” tanya mereka sambil terlihat letih. Saya membuka carrier memberikan sedikit air, dan baru sadar sesuatu mereka tidak bawa cukup air, tapi mereka bawa speaker bluetooth, tripod, kacamata hitam, dan sepatu cassual yang biasa dipakai untuk nongkrong atau pergi kuliah. Saya curiga mereka bukan mau mendaki. Mereka mau karnaval Agustusan jalur pendakian. Bukanya menggurui atau sok senior nyatanya dulu kami juga fomo awalnya. karna kenyamanan dan fungsi sangat mempengaruhi keselamatan pada saat di trek pendakian. Pada saat di camp area datang rombongan pendaki yang ingin mendirikan tenda tepat disamping kami. Satu jam kemudian “Mas, bisa bantu masang tenda ya? kita belum pernah camp” Saya dan Jaka saling pandang, Pendakian pertama mereka langsung ke Slamet. Kalau analoginya ke kehidupan cinta, ini sama seperti pertama kali pacaran dan langsung ngajak ketemu orang tua. Risiko tinggi, skill nol. teringat dulu awal awal menyukai kegiatan hiking hanya ke bukit-bukit daerah Mojokerto saja yang notabennya termasuk pendakian mudah dikarenakan belum tau survive skill di alam, dan nyali yang cupu. Fenomena fenomena seperti inilah yang akan menjadi topik pembahasan saya pada kesempatan ini.
- Apakah Pendakian Masih menjadi ruang refleksi diri, Atau Fomo Medsos untuk Bahan Gengsi dan Adu siapa yang Tertinggi?
Memang belakangan ini ramai trend pendakian pada kalangan anak muda. Pendaki seperti ini sering disebut Pendaki Fomo Menurut penelitian Sabila pada jurnal audience Fenomena Budaya FoMO (Fear of Missing Out) di Media yang menunjukkan bahwa FoMO memengaruhi perilaku Gen Z dalam berbagai aspek, termasuk tekanan untuk selalu mengikuti tren atau konten viral. Bagi saya sah-sah saja semua memang berawal dari fomo, ada sisi positif juga tentunya menurut saya karna dengan melakukan aktivitas fisik di alam terbuka membuat para gen z umumnya yang malas bergerak apalagi berolahraga ber ramai-ramai mendaki gunung menjadikan mikro UMKM di sekitar menjadi terbantu seperti ojek, warung makan, peralatan rental outdor, hingga pedagang makanan ringan yang berjualan di sekitar basecamp.
Pendakian gunung pada dasarnya bukan sekadar perjalanan fisik menuju puncak, melainkan perjalanan batin untuk menemukan diri sendiri. Pandangan ini sering diungkapkan seorang konten kreator pendakian favorit saya beliau juga musisi sekaligus penulis, yang juga dikenal sebagai seorang pendaki. Menurut bung Fiersa Dalam bukunya Arah Langkah, mengungkapkan bahwa “Gunung bukan tempat untuk menaklukkan alam, tetapi tempat untuk menaklukkan diri sendiri.” kutipan ini menjelasan bahwa pendakian bukanlah tentang adu tinggi atau adu berani, melainkan tentang bagaimana seseorang belajar dari kesunyian, keterbatasan, dan ketenangan alam. Tapi, makna itu kini kian memudar. Di era media sosial, banyak pendaki justru menjadikan gunung sebagai sarana adu gengsi, latar pencitraan, serta tempat mencari pengakuan, bukan pemaknaan. Yang mereka bawa cuma kamera, niat, dan kebodohan kolektif. Safety gear? Ah, lupakan yang penting feed Instagram rapi.
- Trend yang seharusnya positif tetapi mengesampingkan keamanan
Pendakian pada dasarnya adalah aktivitas fisik yang bernilai positif. mengajarkan disiplin, kerja sama, kepedulian terhadap alam, dan keteguhan menghadapi tantangan. Menurut saya fenomena ini sebenarnya muncul dari hal positif meningkatnya minat anak muda dan masyarakat terhadap kegiatan alam bebas dan pendakian. Namun, tren yang semestinya mengajarkan cinta alam justru bergeser menjadi budaya gengsi siapa yang tertinggi. Banyak pendaki pemula berangkat tanpa pemahaman cukup tentang keselamatan saat di gunung. seperti Safety gear sering dianggap sebagai gaya berlebihan, bukan kebutuhan mendasar, Padahal peralatan yang sesuai standar lah yang menentukan kelancaran kita pada saat melakukan pendakian. Penlitian dalam Journal of Green Landscape Planning menunjukkan bahwa 68% pendaki di Jawa Timur belum menerapkan standar perlengkapan pendakian sesuai SNI. Padahal, perlengkapan tersebut bukan hanya aspek teknis, melainkan bagian dari kesadaran moral dan tanggung jawab terhadap diri.
Contoh nyata data dari federasi mountaineering indonesia (FMI) di gunung Rinjani saja pada rentan waktu 2021-2025 tercatat bahwa terjadi kecelakaan pendakian sebanyak 18 kasus, 11 diantaranya meninggal dunia. Kalau terus begini, sebentar lagi SNI pendakian isinya cuma kamera, tripod, ringlight. Safety gear masuk lampiran saja. Hal-hal seperti ini sebetulnya yang menyebabkan pendaki menghadapi marabahaya ketika berada di alam liar, kita tak pernah bisa memprediksi keadaan cuaca ketika berada di gunung, yang hanya bisa kita lakukan hanya mempersiapkan kemungkian terburuk. Dengan banyaknya kemungkinan buruk yang bisa terjadi seharusnya bisa membuat para pendaki sadar dan lebih mempersiapkan Safty Gear nya bukan yang penting outfit matchingnya. Kedinginan bisa ditahan, tapi komentar netizen? Tidak.
- Antara Rasionalitas dan Mitos di Gunung: Saat Kurangnya Pengetahuan Dasar Menjadi Bahaya Nyata
Dalam setiap pendakian, keselamatan tidak hanya ditentukan oleh keberuntungan atau izin makhluk halus, tetapi oleh sejauh mana pendaki memahami dan menguasai keterampilan dasar bertahan hidup. Ironisnya, hal-hal yang sangat mendasar seperti cara membangun tenda, memasag flysheet dan pasak, memilih tempat yang aman agar terhindar dari hantaman angin, apa yang harus dilakukan ketika tersesat, apa yang harus dilakukan ketika merasakan gejala hipotermia. Banyak yang takut sama penunggu gunung, padahal yang lebih menyeramkan itu pendaki yang nggak bisa pasang tenda tapi nekat naik. Justru fenomena seperti ini lah yang sering diabaikan oleh para pendaki bukan karena suatu hal mistis/ghoib yang membuat manusia meninggal.
Sukarmin dalam jurnalnya yang berjudul Physical preparation for mountain hikers menjelaskan rasionalitas manusia seharusnya menjadi bekal utama dalam menghadapi kerasnya alam. Kecelakaan dalam kegiatan pendakian bukan disebabkan oleh faktor mistis atau kekuatan gaib, melainkan karena ketidaksiapan fisik, kurangnya pengetahuan teknis, dan sikap meremehkan prosedur keselamatan. Sejalan dengan yang dikemukakan Susilowati, pemahaman terhadap kondisi tubuh dan cara penanganan hipotermia merupakan bagian penting dari kesadaran rasional pendaki terhadap keselamatan, menurutnya tingkat pengetahuan yang rendah tentang gejala hipotermia dan cara penanganannya dapat memperburuk kondisi pendaki di lapangan, bahkan berujung pada kematian bila tidak segera ditangani. Alam jarang marah. Yang marah biasanya tubuhmu sendiri waktu kedinginan tanpa persiapan, sambil tetap dipaksa senyum buat kamera.
Fenomena mistisisme di gunung seharusnya tidak dipahami secara harfiah, tetapi secara simbolik sebagai pengingat agar manusia menghormati alam dengan sikap rendah hati dan rasional. Ketika nalar dipadukan dengan etika tanggung jawab, dengan demikian pendakian tidak lagi menjadi arena bahaya, melainkan ruang refleksi manusia terhadap eksistensinya di hadapan alam yang agung. Maka, bukan “penunggu gunung” yang menyebabkan manusia celaka, melainkan hilangnya kemampuan berpikir rasional dan moral yang menjadi kunci utama keselamatan.
KESIMPULAN
Fenomena pendakian pada era digital menunjukkan adanya pergeseran nilai dari aktivitas reflektif menjadi arena pencitraan sosial yang dipengaruhi oleh budaya Fear of Missing Out (FoMO). Secara filosofis, kondisi ini menggambarkan krisis eksistensial manusia modern sebagaimana Seperti kata Sartre, manusia sering hidup demi pandangan orang lain. Di media sosial, hal ini terlihat ketika pendaki mengambil risiko hanya demi foto estetik. Selain itu, rasionalitas sebagaimana ditegaskan Descartes, semestinya menjadi fondasi utama manusia dalam memahami realitas dan mengambil keputusan yang menyangkut keselamatan diri. Dengan demikian, perlu ada upaya mengembalikan makna pendakian sebagai ruang kontemplatif dan pendidikan moral, bukan sekadar ruang kompetisi visual; dengan menumbuhkan kesadaran bahwa keselamatan, pengetahuan teknis, dan tanggung jawab terhadap diri serta alam adalah bentuk refleksi filosofis yang paling otentik dalam kegiatan mendaki.
Mirza Ali Naqi Hamadhani – Universitas Negeri Malang



